Menu Melayang

sabdainjil@gmail.com

Jumat, 09 Juni 2023

Yesus Kristus – Sebuah Potret Keluarga

Adalah kehendak Bapa surgawi supaya Yesus dari Nazaret, inkarnasi Anak Allah, harus bertumbuh dalam sebuah lingkungan keluarga manusia. Pertimbangan data alkitabiah dari rencana ini mengungkapkan beberapa rincian yang menarik dan bermanfaat.


Unit Keluarga

Rasul Matius memberikan gambaran kepada kita tentang keluarga manusia Tuhan Yesus:

Setibanya di tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Maka takjublah mereka dan berkata: "Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu? Bukankah Ia ini anak tukang kayu? Bukankah ibu-Nya bernama Maria dan saudara-saudara-Nya: Yakobus, Yusuf, Simon dan Yudas? Dan bukankah saudara-saudara-Nya perempuan semuanya ada bersama kita?…" (Matius 13:54-56). [Catatan: kata sifat feminine jamak “semuanya” dalam kalimat terakhir ini mungkin menyiratkan lebih dari dua saudara perempuan.]

Marilah kita merenungkan anggota keluarga ini sejenak.


Yusuf

Orang harus menyimpulkan bahwa Yusuf, seorang tukang kayu dari Nazaret, adalah seorang Ibrani yang luar biasa saleh karena dia jelas-jelas dipilih secara providensial untuk menjadi ayah angkat bayi Yesus dari antara ribuan laki-laki Israel yang ada.

Matius menggambarkan Yusuf sebagai orang yang "benar" (1:19). Dia “bertunangan” dengan Maria, seorang perawan muda Yahudi. Pertunangan melibatkan kontrak pranikah yang umumnya diformalkan dengan pernikahan setelah sekitar satu tahun. Pasangan itu dianggap menikah secara sah sebelum persatuan itu disempurnakan (1:24-25), dan pelanggaran seksual terhadap pertunangan itu dinilai sebagai perzinahan dan tunduk pada konsekuensi yang paling serius (lih. Ulangan 22:23-24).

Ketika kehamilan Maria terjadi, Yusuf khawatir tentang masalah itu, jelas tidak yakin pada awalnya bahwa mukjizat telah terjadi. Meskipun demikian, dia memiliki jiwa yang penuh belas kasih dan tidak mau mengekspos Maria secara terbuka; tetapi dia secara serius mempertimbangkan untuk menceraikannya secara diam-diam (Matius 1:19b). Ketika dia diberitahu dalam mimpi tentang sifat sebenarnya dari kehamilan ini, dia “bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya” (ay. 24). Yusuf adalah seorang yang berjiwa taat.

Lukas mencatat bahwa “terjadi pada hari-hari itu,” yaitu, hari-hari ketika Maria hampir melahirkan anaknya yang kudus, dimana Kaisar Augustus mengeluarkan dekrit bahwa seorang rakyat Romawi harus kembali ke “kota asalnya” untuk tujuan perpajakan. Sungguh menakjubkan, mengingat kondisi Maria saat itu, dia tetap menemani Yusuf dalam perjalanan tujuh puluh mil dari Nazaret ke Betlehem (baik dengan berjalan kaki atau dengan keledai). Sebenarnya meskipun Maria diwajibkan untuk membayar pajak namun "tidak diwajibkan baginya untuk pergi dan melakukannya secara langsung" (Geldenhuys 1956, 100).

Sangat mungkin bahwa baik Yusuf maupun Maria menyadari nubuatan Mikha bahwa Mesias akan lahir di Betlehem (Mikha 5:2; lih. Matius 2:4-6), dan dengan demikian mereka mengikuti pernyataan nubuat itu. Sungguh sebuah keberanian dan pengabdian yang menang di dalam hati pasangan ini!

Setelah kelahiran anak yang mulia, ketika Herodes Agung yang kejam memutuskan untuk mencari dan membunuh bayi itu, Yusuf diperingatkan dalam mimpi: “Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir” (Matius 2: 13). Segera suami yang penurut itu bangkit, mengambil bayi dan Maria, melarikan diri dari Betlehem pada tengah malam (waktu paling berbahaya untuk perjalanan), dan memulai perjalanan 150 mil ke Mesir. Bukankah kepercayaan diri yang tunduk dari pasangan yang saleh ini bersinar dengan cemerlang?

Terakhir kali pelajar Alkitab bertemu Yusuf masih hidup berkaitan dengan perjalanan keluarga dari Nazaret ke Yerusalem untuk merayakan Paskah tahunan, belasan tahun setelah kelahiran Yesus (Lukas 2:41). Selama tahun-tahun awal itu, Yusuf telah melatih Yesus muda dalam bisnis pertukangan (Markus 6:3). Para rabi mengajarkan bahwa membesarkan seorang anak laki-laki tanpa mengajarinya berdagang berarti membesarkannya sebagai perampok.

Yusuf juga memastikan bahwa ”putranya” mendapat pelajaran agama secara teratur. Kita kemudian belajar bahwa itu adalah “kebiasaan” Tuhan untuk menghadiri ibadat sinagoga pada hari Sabat. Dia bisa membaca Alkitab Ibrani dan menemukan nas-nas tertentu (Lukas 4:16-17)! Meskipun kita dengan senang hati mengakui bahwa Maria mendapat "karunia" (Lukas 1:28) (dan tidak pernah diperlakukan sebagai "Bunda Allah" atau "Ratu Surga"), kita tidak boleh melupakan kontribusi Yusuf juga.

Maria

Orang hanya bisa mengagumi kualitas yang menghiasi gadis perawan Ibrani ini, yang kemungkinan besar masih remaja. Para rabi menempatkan usia minimum untuk pernikahan seorang gadis perawan pada umur dua belas tahun (tiga belas untuk anak laki-laki). Dia menunjukkan iman yang besar untuk seorang yang begitu lembut (merefleksikan kembali perjalanan sulit yang digambarkan sebelumnya). Kita dibatasi untuk melihat lebih dekat tentang Maria dengan lensa pembesar.

Ketika gadis perawan Yahudi ini disapa oleh malaikat Gabriel dan diberitahu bahwa dia "dikaruniai" oleh Tuhan Allah (Lukas 1:26 dst), dia "sangat terganggu" tentang sifat pernyataan itu. Dia bingung sekaligus khawatir. Tetapi malaikat itu memperingatkan, “Jangan takut”—atau lebih tepatnya, “Berhentilah takut.” Ketika dia diberitahu bahwa dia akan mengandung seorang anak laki-laki, dia bingung karena dia tidak pernah berhubungan intim dengan seorang laki-laki (ay.34).

Maria diberitahu bahwa peristiwa itu bersifat supranatural. Tanggapannya luar biasa. Pertama, dia mengakui bahwa dia siap menjadi “hamba” (“hamba perempuan” ASV) Tuhan (ay.38, 48), yaitu, seorang budak untuk melakukan kehendak Tuhannya—kepentingannya sendiri dikesampingkannya. Kedua, dia dengan yakin memohon, “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” Resolusi di hati manusia seperti itu akan merenovasi seluruh dunia! Ini adalah "tunas" keberanian dan komitmen yang akan terlihat "mekar penuh" di kaki salib.

Adalah Maria, dengan hati seorang ibu yang resah, yang karena frustrasi menegur anak laki-laki berusia dua belas tahun itu setelah dia tertinggal di Yerusalem dan berjalan ke bait Allah di mana Dia terlibat dalam dialog dengan para guru profesional (Lukas 2:46). “Nak,” Maria bertanya, “mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (ay.48). Teks berikut berisi kata-kata pertama yang direkam dari Juruselamat: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (ay.49; atau, "tentang urusan Bapa-Ku?" - lih. KJV). Pertanyaan-pertanyaan itu mengungkapkan beberapa kejutan bahwa orang tuanya, pada saat ini, tidak sepenuhnya menghargai hubungan yang Dia pertahankan dengan Bapa surgawi-Nya (ay.50). Meskipun demikian, Maria menyimpan segala perkara itu “di dalam hatinya” dan merenungkannya di kemudian hari (lih. Ay.19). Ibunya akan semakin menghargai peran Mesianik-Nya, yang puncaknya pada hari tatkala Maria menyaksikan Dia mati, dan suatu “pedang” akan menembus jiwamu sendiri (ay. 35).

Ada insiden yang menarik menjelang permulaan pelayanan Yesus di muka umum. Maria dan Yesus, bersama murid-murid-Nya, menghadiri pesta pernikahan di Kana di Galilea. Ketika anggurnya habis, Maria mendekati putranya itu dan berkata, “Mereka kehabisan anggur.” Apa motif di balik permintaannya itu? Jelas Maria ingin putranya memperbaiki situasi yang memalukan itu.

Tapi apakah ada lagi? Apakah Maria ingin Dia menunjukkan kuasa supranatural? Maria belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya (Yohanes 2:11), tetapi mungkin dia tidak menyadari nubuat Perjanjian Lama yang berkaitan dengan kuasa ajaib Mesias (Yesaya 29:18-19; 35:5-6). Tanpa ada pertanyaan lagi dia secara halus menyarankan agar putranya itu melakukan sesuatu, dan orang pasti dengan hormat memperhatikan bahwa dia tidak tertib—seperti yang ditunjukkan oleh jawaban Tuhan: “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu?”

Dalam Perjanjian Baru Yunani bahasanya tidak jelas. Secara harfiah adalah: "Apa untuk aku dan engkau?" Atau, lebih ke mode ekspresi kita: "Apa kesamaan antara engkau dan aku mengenai masalah ini?" Dia dengan sopan tapi tegas menegurnya. Menariknya, Maria telah melangkah melampaui kapasitasnya. Dia menyadari hal itu; karenanya, dengan lemah lembut dia berkata kepada para pelayan: "Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu!" (Yohanes 2:5). Tentunya ini adalah titik yang menentukan dalam pikiran Maria.

Anggota Keluarga yang Salah Kaprah

Kemudian dalam pelayanan-Nya, Yesus mengajar di dekat Danau Galilea (Markus 3:7). Karena mukjizat-Nya, banyak orang mengikuti-Nya. Setelah menyingkir seorang diri, saat Dia memilih dua belas rasul, Dia memasuki sebuah rumah terdekat; tetapi orang banyak itu memadati tempat tinggal itu sehingga mereka bahkan tidak punya waktu untuk makan (ay.20). Terjemahan yang lebih tua berbunyi begini: "Dan ketika teman-teman-Nya mendengarnya, mereka pergi untuk menangkap-Nya" (ay.21a). Yang menarik adalah istilah "teman". Teks aslinya memiliki tiga kata—hoi par’ autou, secara harfiah artinya, “orang yang di sampingnya.” Ungkapan ini digunakan dalam beberapa pengertian; dalam hal ini hampir pasti untuk "keluarga" (lih. NIV; ESV) atau "bangsanya sendiri" (NKJB). Hal ini tampaknya didukung kuat oleh konteks berikutnya yang merujuk pada Maria dan saudara-saudara Yesus (ay.31dst).

Mereka berusaha untuk “mengambil Dia” karena kata mereka, “Dia tidak waras”—atau “Dia gila” (ESV; perhatikan kontras kata dengan “waras atau pikiran sehat” dalam 2 Korintus 5:13). Tampaknya Maria dan anak-anaknya yang lain (lih. Matius 13:55) ingin menyelamatkan Yesus dari keadaan diri-Nya sendiri! Apakah mereka percaya Dia kehilangan keseimbangan karena popularitas-Nya yang meningkat? Apa pun motif mereka, mereka mengungkapkan kurangnya penghargaan atas urgensi misi-Nya, dan mereka didorong oleh semangat yang salah kapra. Evaluasi Tuhan atas upaya itu begitu nyata (ay. 3:31-35).

Saudara-Saudara yang Tidak Percaya

Peristiwa-peristiwa dalam Injil Yohanes pasal tujuh terjadi pada musim gugur sebelum kematian Juruselamat pada musim semi berikutnya (7:2). Tuhan sedang mengajar di Galilea, karena tidak aman di Yudea; orang-orang Yahudi di sana sedang merencanakan nasib-Nya. Dia tahu bahwa Dia akan segera mati, tetapi "waktu-Nya" belum tiba.

Hari raya Pondok Daun sudah dekat dan akan ada banyak orang di Yerusalem. Oleh karena itu, saudara-saudara seibu Yesus menantang diri-Nya untuk pergi ke Yudea. Tujuannya adalah "supaya murid-murid-Mu juga melihat perbuatan-perbuatan yang Engkau lakukan" (ay.3). Yohanes tanpa ragu mengungkapkan bahwa " saudara-saudara-Nya sendiri pun tidak percaya kepada-Nya" (ay.5). Kata kerjanya adalah IMPERFECT TENSE, menunjukkan bahwa ketidakpercayaan mereka sedang berlangsung. Terlebih lagi, ungkapan “murid-muridmu” yang dingin dan berjarak itu dengan jelas menyiratkan bahwa mereka tidak termasuk dalam kategori itu. Oleh karena itu, apa motif mereka seberani ini menantang supaya Dia tidak tinggal di tempat “tersembunyi”, yaitu di Galilea yang tidak jelas; sebaliknya, Dia harus menampakkan diri "di muka umum" di Yudea?

Beberapa orang beranggapan bahwa saudara-saudara ini ingin menguji Tuhan demi keuntungan rohani mereka sendiri. "Jika" Dia benar-benar dapat melakukan "perbuatan-perbuatan" yang Dia klaim, dan yang dibicarakan orang lain, biarlah Dia "menampakkan" diri-Nya dengan cara tampil di muka umum. Perhatikan bahwa hipotesis "jika" (v.4b). Jadi, jika Dia dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di hadapan umum di Yudea, maka saudara-saudara ini juga akan percaya dan oleh karena itu mereka tergolong di antara para murid.

Yang lain berpendapat bahwa motifnya lebih kasar dan muluk-muluk. Meskipun mereka tidak mendukung klaim Mesianik-Nya, namun jelas banyak orang mendorong diri mereka sendiri untuk ikut ke mana pun Dia pergi. Mengapa tidak pergi ke tempat konsentrasi terbesar penduduk—di Yerusalem untuk hari raya yang akan tiba? Mungkin Dia akan diproklamirkan sebagai semacam pemimpin politik besar, seperti yang telah dicoba beberapa bulan sebelumnya (Yohanes 6:15). Jika demikian, sebagai saudara, mereka mungkin dapat berbagi manfaat royalti yang dihasilkan.

Apa pun motifnya, tampaknya itu kurang mulia, menggambarkan pengamatan Juruselamat sebelumnya bahwa seorang nabi tidak dihormati di “rumahnya sendiri” (Matius 13:57). Namun, setidaknya mereka tidak menolaknya. Masih ada harapan, seperti yang akan ditunjukkan oleh peristiwa selanjutnya.

Lenski membuat pengamatan penting ketika dia membahas kesaksian ketidakpercayaan saudara-saudara Yesus. Seorang penulis narasi pasti akan menghilangkan fakta yang memalukan seperti ini, atau memodifikasinya dengan cara tertentu, untuk meniadakan rincian yang agak negatif ini dalam pelayanan Yesus. Fakta bahwa itu muncul dalam keterusterangannya yang murni adalah bukti kuat dari integritas narasi suci (1943, 532).

Tatkala para murid bertemu di ruang atas setelah kenaikan Kristus, Maria dan saudara-saudara Yesus hadir (Kisah Para Rasul 1:13-14), dan seluruh rombongan bertekun dengan “sehati” dalam doa. Jelas bahwa saudara-saudara-Nya telah meninggalkan ketidakpercayaan mereka. Apa yang menyebabkan perubahan dramatis ini? Jelas kebangkitan Tuhan dari kematian! (lih. 1 Korintus 15:7). Yakobus kemudian menjadi orang berpengaruh yang menonjol di jemaat Yerusalem (Kisah Para Rasul 15:13, 19), dan menulis surat kirim yang memakai namanya (Yakobus 1:1). Saudara lainnya, Yudas (Yehuda), menulis salah satu kitab Perjanjian Baru sebelum kitab yang terakhir.

Di Dekat Salib

Dari semua anggota keluarga, hanya Maria yang berada di dekat kayu salib ketika putranya meninggal. Tidak ada anak laki-laki yang berdiri untuk memeluk ibu yang menangis terisak-isak; tidak ada anak perempuan untuk mendorong hati yang tertusuk (lih. Luk 2:35). Hanya seorang saudari perempuan, Salome, dan seorang keponakan, Yohanes. (Ada tiga orang perempuan yang berada dekat salib [Matius 27:56; Markus 15:40; Yohanes 19:25]. Perbandingan ini mengarah pada kemungkinan kesimpulan bahwa "saudara perempuan" Maria diidentifikasi sebagai Salome, ibu dari Yakobus dan Yohanes [Barclay 1959, 29-30].) Tetapi dari keluarga inti, hanya Maria yang cukup tangguh untuk menjalani semuanya. Betapa dia telah menjadi perempuan yang tangguh dan tabah!

Secara signifikan, Tuhan tidak menyerahkan perawatan ibu-Nya yang mulia kepada saudara-saudaranya, yang sangat dapat dimengerti mengingat kurangnya iman mereka sejauh ini (lih. Yoh 7:5). Tentunya ini adalah salah satu kebetulan yang tidak dirancang yang menandai catatan Alkitab dengan cincin keasliannya.

Itulah yang kita memiliki. Meskipun dalam mode yang terbilang disingkat, itulah potret biografi keluarga Yesus Kristus. Saat seseorang mencari tahu citra bahasanya, dia pasti takjub dan gembira karena rinciannya yang terungkap.

Karya Kutipan
· Barclay, William. 1959. The Master’s Men. Nashville, TN: Abingdon.
· Geldenhuys, Norval. 1956. Commentary on the Gospel of Luke. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
· Lenski, R. C. H. 1943. The Interpretation of John’s Gospel. Minneapolis, MN: Augsburg.

Referensi Ayat Alkitab
Matius 13:54-56; Ulangan 22:23-24; Matius 1:19; Mikha 5:2; Matius 2:4-6; Matius 2:13; 1 Tesalonika 5; Lukas 2:41; Markus 6:3; Lukas 4:16-17; Lukas 1:28; Lukas 1:26; Lukas 2:46; Yohanes 2:11; Yesaya 29:18-19, 35:5-6; Yohanes 2:5; Markus 3:7; 1 Korintus 5:13; Matius 13:55; Markus 3:31-35; Yohanes 6:15; Matius 13:57; Kisah Para Rasul 1:13-14; 1 Korintus 15:7; Kisah Para Rasul 15:13, 19; Yakobus 1:1; Lukas 2:35; Matius 27:56; Markus 15:40; Yohanes 19:25; Yohanes 7:5

Sumber: Jackson, Wayne. "Jesus Christ - A Family Portrait." ChristianCourier.com. Access date: June 5, 2021. https://www.christiancourier.com/articles/1457-jesus-christ-a-family-portrait

Blog Artikel

Artikel Terkait

Back to Top

Cari Artikel