Salah satu ancaman terhadap kelangsungan hidup bangsa ini adalah jumlah perceraian yang semakin mengkhawatirkan. Setiap keputusan bercerai adalah sebuah menumen untuk mengkhianati janji dan menghancurkan kehidupan. Sekarang ini semakin sedikit rumah tangga yang belum disentuh oleh perceraian.
Di saat Hollywood dan budaya modern mengagungkan percabulan dan melipatgandakan pernikahan, mari kita selalu ingat bahwa Allah membenci perceraian (Mal. 2:16).
Janji Pernikahan
Janji pernikahan adalah sebuah perjanjian antara tiga pihak: laki-laki, perempuan, dan Allah. Beberapa kaum laki-laki di zaman Malaekhi tidak setia pada istri-istri mereka. Sang nabi memperingatkan mereka bahwa “TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjiamu” (Mal. 2:14). Perempuan yang tidak bermoral dalam kitab Amsal 2:17 telah meninggalkan suaminya dan melupakan “perjanjian Allahnya.”
Setiap kali mengukuhkan pernikahan, saya mengingatkan pasangan yang berdiri di hadapan saya bahwa janji yang mereka ucapkan itu di hadapan Allah; Dia-lah saksi mereka. Waktunya akan tiba ketika saksi-saksi mereka dari manusia akan mendorong mereka untuk bercerai, tetapi mereka harus ingat bahwa Allah tidak lupa akan janji mereka untuk setia satu sama lain “hingga kematian memisahkan kita berdua.”
Ada banyak kewajiban dalam janji pernikahan. Suami harus mengasihi isterinya “sebagaimana Kristus mengasihi jemaat” (Efesus 5:25). Dia juga harus menafkahi keluarganya (1 Timotius 5:8). Istri dituntut untuk tunduk kepada suaminya “sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus” (Efesus 5:24). Mereka berdua dituntut untuk saling memenuhi “kewajiban” satu sama lain (1 Korintus 7:3). Mereka juga “terikat oleh hukum” selama mereka hidup (Roma 7:1-4). Ini adalah hukum Allah dan bukan hukum manusia.
Bolehkah Bercerai Dengan Alasan Apa Saja?
Ketika orang-orang Farisi menanyai Yesus tentang bercerai “dengan alasan apa saja,” Dia mengingatkan mereka bahwa Allah telah merancang bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam pernikahan, seumur hidup. Dia juga berkata bahwa di dalam pernikahan, keduanya “dipersatukan” oleh Allah sendiri (Matius 19:3-6). Mereka bertanya mengapa Musa memperbolehkan mereka untuk memberikan “surat cerai” dan menceraikan istri mereka (Matius 19:7). Yesus menjelaskan bahwa walaupun Allah membiarkan keimoralan mereka untuk sementara waktu, “tetapi sejak semula tidaklah demikian” (Matius 19:8). Orang-orang Farisi memiliki banyak alasan untuk “menceraikan” istri mereka, tetapi Tuhan kita menyatakan bahwa hanya ada satu alasan bagi seorang laki-laki untuk “menceraikan” istrinya, yaitu percabulan, dan dia boleh menikah dengan perempuan lain (Matius 19:9).
Dalam hukum Ilahi, Allah berfirman, “perceraian” boleh dilakukan karena “percabulan” (Matius 19:9). Hukum ini tidak termasuk Waiting Game (permainan menunggu) yang dimainkan sebagian orang saat ini. Permainan ini dimainkan ketika seorang pasangan diceraikan (berpisah), dan seorang pasangan lain menunggunya melakukan percabulan. Mereka mengklaim bahwa hal ini akan memberikan mereka hak untuk menikah lagi secara alkitabiah. Tolong diingat Yesus berkata bahwa percabulan harus terjadi dulu sebelum “bercerai” (Matius 19:9).
Karena Allah satu-satunya yang mempersatukan pasangan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, maka Dia satu-satunya yang dapat membebaskan mereka dari perjanjian itu. Mungkin saja ada pasangan yang menikah disahkan oleh hukum negeri setempat tetapi tidak dipersatukan oleh Allah. Ini kasus yang tercatat di dalam Markus 6:17-18. Dalam ayat ini Yohanes Pembaptis menegor Herodes, “Tidak halal engkau mengambil isteri saudaramu!” Herodes sudah menikah sesuai dengan hukum sipil, tetapi Yohanes Pembaptis berkata bahwa pernikahannya itu “tidak halal.” Perempuan di dalam Roma 7:2-3 masih diikat oleh Allah dengan suami pertamanya selama suaminya itu hidup, walaupun dia mungkin (setelah suaminya mati) nanti menikah dengan laki-laki lain!
Apakah Allah Akan Mengampuni Perceraian?
Apa yang terjadi ketika seorang yang telah bercerai secara tidak alkitabiah ingin menaati Injil? Apakah Allah akan melupakan pernikahannya sebelumnya dan membolehkan dia meneruskan pernikahannya saat ini? Kadang-kadang saudara seiman mau berdebat atas keberhasilan baptisan dan peran baptisan dalam pengampunan dosa. Kita harus mengingatkan mereka bahwa baptisan adalah “untuk pengampunan dosa” (Kisah 2:38), bukan pengampunan pernikahan.
Sejauh yang saya yakin tepat, diskusi seharusnya tidak dipusatkan pada peran baptisan tetapi arti pertobatan sejati yang mendahului baptisan. Jika seseorang hidup dalam pernikahan yang tidak alkitabiah (berzinah), pertobatan menuntut dia supaya menghentikan praktek dosa dan meninggalkan pasangan nikahnya yang tidak alkitabiah itu.
Pertobatan diartikan sebagai “perubahan pikiran mereka yang mulai membenci kesalahan dan kelakuan buruk mereka dan telah menetapkan untuk memasuki jalan kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat mengenali dosa dan dukacita atasnya dan perubahan yang sungguh-sungguh, yang tanda dan buahnya adalah perbuatan baik…” (Thayer’s Greek-English Lexicon). Pertobatan menunjukkan bukti-buktinya yang tidak dapat disangsikan oleh dunia.
Dalam Perjanjian Lama, Allah menuntut restitusi perlu dilakukan ketika seseorang bertobat dari dosa-dosanya (Bilangan 5:6-8; Imamat 6:1-7). Pertobatan kita akan sia-sia jika kita tidak menghasilkan “buah yang sesuai dengan pertobatan” (Matius 3:8). Ya, darah Kristus akan menghapuskan dosa-dosa kita saat kita dikuburkan bersama Dia dalam baptisan (Roma 6:1-4; 1 Pet. 3:21), tetapi sebelum baptisan, saya harus bertobat dari dosa-dosa saya (Kisah 2:38). Jika saya hidup dalam percabulan, pertobatan menuntut saya untuk menceraikan pasangan nikah saya yang tidak alkitabiah.
Dalam Yohanes 8, kita menemukan kisah seorang perempuan yang tertangkap basah melakukan zinah. Tidak disangsikan bahwa Tuhan kita mengampuni dia. Tetapi apa yang dimaksud oleh Yesus ketika Dia berkata, “pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang?” Dapatkah dia kembali kepada laki-laki yang tidur bersamanya tadi? Saya percaya Tuhan mengampuni dia tetapi juga memperingatkannya untuk tidak melakukan dosa yang sama ini lagi.
Apakah Non-Kristen Harus Tunduk Kepada Hukum Kristus?
Sebagian orang berargumen bahwa orang non-Kristen tidak tunduk kepada hukum Kristus dalam pernikahan, perceraian, dan pernikahan kembali. Ketika Yesus memberikan perintah dalam Matius 19, Dia sedang berbicara kepada orang-orang Farisi, yang disebut-Nya “orang-orang munafik,” “pemimpin-pemimpin buta atas orang-orang buta,” dan anak-anak iblis. Kepada orang-orang ini Yesus berkata, “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (MATIUS 19:9). Kata “barangsiapa” meliputi semua orang, baik orang Kristen maupun non-Kristen.
Apakah Kita Mau Menghancurkan Rumah Tangga Bahagia Kita?
Setelah menjelaskan hukum Allah kepada pasangan nikah yang hidup dalam dosa zinah, kita sering ditanya, “Apakah Allah ingin kita menghancurkan rumah tangga bahagia kita?” Pada zaman Ezra, banyak kaum laki-laki Yahudi yang menikahi perempuan-perempuan pagan dari bangsa-bangsa di sekitar mereka. Allah telah melarang mereka untuk menikahi para perempuan dari tujuh bangsa yang disebutkan dalam kitab Ulangan 7:1-5. Ketika laki-laki Israel menyadari dosa mereka dan mau bertobat, maka Ezra berkata, “Kamu telah melakukan perbuatan tidak setia, karena kamu memperisteri perempuan asing dan dengan demikian menambah kesalahan orang Israel. Tetapi sekarang mengakulah di hadapan TUHAN, Allah nenek moyangmu, dan pisahkanlah dirimu dari penduduk negeri dan perempuan-perempuan asing itu!” (Ezra 10:10-11). (Penulis: David Padfield, alih bahasa: HT)