Para pemimpin jemaat menanggung suatu beban tanggung jawab yang paling serius di hadapan Allah. Sayangnya, beberapa orang yang mengaku Kristen mengambil keuntungan dari pemimpin-pemimpin yang baik dan “kelompok gereja” dari satu tempat ke tempat lain untuk mencegah kekeliruan.
James A. Garfield adalah presiden Amerika Serikat yang ke 20. Beliau bekerja kurang dari 4 bulan sebelum beliau dibunuh. Beliau adalah seorang anggota jemaat Tuhan dan melayani sebagai salah seorang penatua. Ketika Garfield melepaskan perannya sebagai seorang penatua, dikatakan bahwa beliau pernah menyatakan, “saya berhenti dari jabatan tertinggi di negeri ini untuk menjadi presiden Amerika Serikat.” Melayani sebagai seorang penatua di dalam gereja Kristus adalah posisi tertinggi yang didapatkan oleh seseorang di bumi ini.
Tanggung jawab para penatua jemaat adalah menilik kawanan domba Allah di antara mereka, menjaga jiwa-jiwa mereka, sambil berjaga-jaga bahwa mereka akan memberi pertanggungjawaban kepada Tuhan atas kepemimpinan yang mereka jalankan (Ibrani 13:17; 1 Petrus 5:2). Salah satu aspek kewajiban penatua adalah menasihati kita ketika mereka melihat kita berada dalam bahaya rohani (1 Tesalonika 5:12).
Istilah “menasihati” mengandung pengertian ganda yaitu dorongan dan juga teguran. ketika anak Allah menghadapi kesulitan-kesulitan rohani, dan para penatua berusaha menolong mereka, orang yang saleh akan menghargai hal itu, dan akan merespon dengan sikap penuh terima kasih untuk melakukan perbaikan. Menolak nasihat yang penuh kasih sayang yang harmonis dengan Kitab Suci adalah sebuah tindakan pemberontakan terhadap Allah sendiri (bdg. 1 Samuel 8:75), dan orang yang berdosa akan mempertanggungjawabkan perilakunya pada hari penghakiman.
Dalam hukum kriminal, ada tindakan yang biasa dilakukan tersangka, yaitu melarikan diri untuk menghindari tuntutan hukum. Para pelanggar hukum seringkali berada dalam perangkap ilusi bahwa jika mereka melarikan diri dari tuntutan hukum pengadilan maka mereka akan bebas dari tanggungjawab hukum. Tetapi hal demikian tidak bisa ditoleransi dalam suatu masyarakat yang terikat hukum, sebagaimana diketahui oleh orang yang berakal waras; sebaliknya seseorang harus menghadapi pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya dalam lingkungan dimana tindakan-tindakan yang tidak pantas telah terjadi.
Demikian halnya juga dengan anggota-anggota jemaat, akan ikut-ikutan meniru pola perilaku yang kotor dan penuh dosa. Ketika didekati oleh para penatua untuk mendapatkan nasihat rohani, mereka menolak. Jika para pemimpin saleh mulai melakukan tekanan yang lemah lembut, maka penolakan menjadi semakin terlihat. Akhirnya, ketika para gembala melakukan pendekatan yang lebih keras untuk menolong jiwa yang suka melawan, maka muncul taktik “melarikan diri untuk menghindari tuntutan” atau dalam istilah yang lebih umum, “Saya keluar dari keanggotaan saya.”
Keanggotaan dalam gereja adalah suatu kewajiban dan suatu pilihan. Pernyataan ini tidak bertentangan. Keanggotaan adalah suatu kewajiban ketika seorang Kristen menjadi anggota gereja lokal yang setia. Tuhan tidak pernah bermaksud supaya anak Allah menjadi sebuah kelompok menurut kehendaknya sendiri, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mengabaikan keanggotaannya. Ada kewajiban bersama dalam berjemaat (Kisah Rasul 20:7; Ibrani 10:25; 13:17).
Disisi lain, seseorang mempunyai pilihan untuk memilih di jemaat local mana dia akan menempatkan keanggotaannya. Pemimpin jemaat local tidak memiliki hak untuk menuntut semua orang Kristen dalam jemaat lokal itu untuk tetap bersama mereka.
Ketika seseorang menempatkan keanggotaannya dalam sebuah jemaat lokal, dan tunduk di bawah kepemimpinan para penatua jemaat itu, maka dia telah mengambil tanggung jawab yang terhormat. Mungkin dia berperilaku baik, tetapi ketika didekati oleh para penatua saleh, dia menyatakan: “Saudara tidak punya kuasa atas saya. Saya akan melakukan menurut keinginan saya. Saya akan meninggalkan jemaat ini dan Saudara tidak bisa menghalanginya.”
Jika seseorang ingin pergi, boleh saja, dia punya pilihan untuk melakukannya. Tetapi jika ada “urusan yang belum selesai”, maka itu tidak boleh diabaikan. Para penentang harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka dan menyelesaikan perkara itu dengan jemaat. Yang benar tetap benar, tetapi pertanggungjawaban diharapkan dan dituntut. Sayangnya, dalam banyak contoh, prakteknya adalah: “biarkan saja mereka pergi, keluar dari hadapan dan pikiran kita.” Hal demikian tidak mencerminkan kepemimpinan yang bertanggung jawab. (Oleh: Wayne Jackson)
(Diterjemahkan dengan adaptasi seperlunya dari http://www.christiancourier.com/articles/print/the_awesome_responsibility_of_church_leadership, Penulis: Wayne Jackson, Alih bahasa: Harun Tamale)
Dalam hukum kriminal, ada tindakan yang biasa dilakukan tersangka, yaitu melarikan diri untuk menghindari tuntutan hukum. Para pelanggar hukum seringkali berada dalam perangkap ilusi bahwa jika mereka melarikan diri dari tuntutan hukum pengadilan maka mereka akan bebas dari tanggungjawab hukum. Tetapi hal demikian tidak bisa ditoleransi dalam suatu masyarakat yang terikat hukum, sebagaimana diketahui oleh orang yang berakal waras; sebaliknya seseorang harus menghadapi pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatannya dalam lingkungan dimana tindakan-tindakan yang tidak pantas telah terjadi.
Demikian halnya juga dengan anggota-anggota jemaat, akan ikut-ikutan meniru pola perilaku yang kotor dan penuh dosa. Ketika didekati oleh para penatua untuk mendapatkan nasihat rohani, mereka menolak. Jika para pemimpin saleh mulai melakukan tekanan yang lemah lembut, maka penolakan menjadi semakin terlihat. Akhirnya, ketika para gembala melakukan pendekatan yang lebih keras untuk menolong jiwa yang suka melawan, maka muncul taktik “melarikan diri untuk menghindari tuntutan” atau dalam istilah yang lebih umum, “Saya keluar dari keanggotaan saya.”
Keanggotaan dalam gereja adalah suatu kewajiban dan suatu pilihan. Pernyataan ini tidak bertentangan. Keanggotaan adalah suatu kewajiban ketika seorang Kristen menjadi anggota gereja lokal yang setia. Tuhan tidak pernah bermaksud supaya anak Allah menjadi sebuah kelompok menurut kehendaknya sendiri, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan mengabaikan keanggotaannya. Ada kewajiban bersama dalam berjemaat (Kisah Rasul 20:7; Ibrani 10:25; 13:17).
Disisi lain, seseorang mempunyai pilihan untuk memilih di jemaat local mana dia akan menempatkan keanggotaannya. Pemimpin jemaat local tidak memiliki hak untuk menuntut semua orang Kristen dalam jemaat lokal itu untuk tetap bersama mereka.
Ketika seseorang menempatkan keanggotaannya dalam sebuah jemaat lokal, dan tunduk di bawah kepemimpinan para penatua jemaat itu, maka dia telah mengambil tanggung jawab yang terhormat. Mungkin dia berperilaku baik, tetapi ketika didekati oleh para penatua saleh, dia menyatakan: “Saudara tidak punya kuasa atas saya. Saya akan melakukan menurut keinginan saya. Saya akan meninggalkan jemaat ini dan Saudara tidak bisa menghalanginya.”
Jika seseorang ingin pergi, boleh saja, dia punya pilihan untuk melakukannya. Tetapi jika ada “urusan yang belum selesai”, maka itu tidak boleh diabaikan. Para penentang harus bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka dan menyelesaikan perkara itu dengan jemaat. Yang benar tetap benar, tetapi pertanggungjawaban diharapkan dan dituntut. Sayangnya, dalam banyak contoh, prakteknya adalah: “biarkan saja mereka pergi, keluar dari hadapan dan pikiran kita.” Hal demikian tidak mencerminkan kepemimpinan yang bertanggung jawab. (Oleh: Wayne Jackson)
(Diterjemahkan dengan adaptasi seperlunya dari http://www.christiancourier.com/articles/print/the_awesome_responsibility_of_church_leadership, Penulis: Wayne Jackson, Alih bahasa: Harun Tamale)