Dari skandal Teapot Dome tahun 1920-an hingga suap Gulf Oil (Minyak Teluk) dan Exxon tahun 1960-an hingga korupsi Abscam tahun 1970-an serta kesepakatan manis para politisi dalam beberapa hari terakhir. Suap tampaknya menjadi bagian normal dan biasa dalam bisnis dan politik.
Banyak orang Amerika menyuarakan kemarahan ketika mereka mendengar praktik suap bisnis besar atau para politisi kucing gemuk mengambil keuntungan dari posisi mereka untuk mengisi dompet mereka sendiri.
Suap adalah masalah moral dan etika serius yang eksis manakala seorang, entah laki-laki atau perempuan, memiliki sesuatu yang bernilai untuk diperdagangkan dengan mengorbankan integritas mereka.
Korupsi suap sudah ada sejak zaman kuno.
Terlepas dari kenyataan bahwa ada denda berat terhadap pelaku suap di Roma kuno, praktek membeli dukungan kandidat politik adalah hal biasa.
Politisi terkemuka sering kali terlilit utang pribadi, yang membuat mereka menjadi sasaran suap.
Misalnya, pada tahun 62 SM utang Yulius Caesar bernilai sekitar 500.000 dalam mata uang dollar Amerika, yang jika dirupiahkan dengan kurs saat ini Rp14.200 per 1 dolar, sama dengan Rp7.100.000.000.
Pada usia dua puluh empat tahun, Marcus Antonius berutang 100.000 dolar (Rp1.420.000.000). Empat belas tahun kemudian kewajibannya tidak kurang dari 600.000 dolar (Rp8.520.000.000).
Walaupun terbatas, Cicero berkomentar: “Suap sudah mencapai titik didih.”
Di dunia Kekaisaran Yunani kuno segalanya lebih baik. Suap politik tampaknya tidak berlaku, setidaknya dalam skala besar di Yunani.
Tetapi dalam mengomentari situasi di Kartage, Aristoteles merefleksikan: "Adalah wajar bahwa seseorang harus menghasilkan uang dari jabatannya jika dia harus membayarnya."
Sebuah studi tentang berbagai budaya kuno akan mengungkap bahwa suap secara konsisten dikutuk sebagai praktek korupsi oleh masyarakat beradab.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejahatan besar ini. Dalam dokumen penting sejarah Inggris, Magna Charta, dinyatakan: "Kami tidak akan menjual kepada siapa pun, kami tidak akan menyangkal atau menangguhkan, hak atau keadilan kepada siapa pun."
Sebuah ide mulia yang belum sepenuhnya terwujud.
Perjanjian Lama mengutuk keras praktek suap.
Istilah Ibrani sho'chad, yang sering diterjemahkan sebagai "hadiah" (KJV) atau "suap" (ASV), dilambangkan sebagai "hadiah" dan umumnya berkaitan dengan hadiah yang diberikan kepada hakim untuk memberikan putusan yang menguntungkan.
Namun, sebenarnya, suap adalah ”sesuatu yang diberikan kepada seseorang untuk membujuknya melakukan sesuatu yang ilegal atau salah, atau bertentangan dengan harapan-harapannya.”
Para penulis Perjanjian Lama mengaitkannya dengan beberapa sikap tidak bermoral dan kejahatan yang mengikutinya.
Suap dianggap sebagai penyimpangan keadilan karena sering menyebabkan orang yang tidak bersalah dihukum dan yang bersalah dibebaskan.
Musa menyatakan: “Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar” (Kel. 23:8).
Sekali lagi: “Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar” (Ul. 16:19).
Daud memuji orang yang menolak menerima suap untuk melawan orang yang tidak bersalah (Mazmur 15:5) dan mengutuk praktik menerima suap sebagai "kejahatan" (Mzm 26:10).
Orang bijak menulis: “Orang fasik menerima hadiah suapan dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan hukum” (Ams. 17:23).
Yesaya melihat masalah ini pada zamannya. Dia mengeluarkan kata celaka yang mengerikan bagi mereka "yang membenarkan orang fasik karena suap dan yang memungkiri (merampas) hak orang benar” (Yes. 5:23).
Suap dan Kejahatan Lainnya
Suap adalah sahabat berbagai bentuk kejahatan. Suap berjalan beriringan dengan pemerasan dan penindasan.
“Sungguh, pemerasan membodohkan orang berhikmat, dan uang suap merusakkan hati” (Pengkh. 7:7).
Suap adalah rekan pencurian.
“Para pemimpinmu adalah pemberontak dan bersekongkol dengan pencuri. Semuanya suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes. 1:23).
“Padamu orang menerima suap untuk mencurahkan darah, engkau memungut bunga uang atau mengambil riba dan merugikan sesamamu dengan pemerasan, tetapi Aku kaulupakan, demikianlah firman Tuhan ALLAH” (Yeh. 22:12).
Terkait dengan dosa suap, Musa memuji kekudusan Yahweh ketika dia menegaskan bahwa Tuhan “tidak memandang bulu ataupun menerima suap” (Ul 10:17; bdk. 2 Taw 19:7).
Oleh karena itu, mereka yang “hidup dalam kebenaran” bersama Yahweh harus mengebaskan tangannya, supaya jangan menerima suap (Yes. 33:15).
Menurut Encyclopedia Judaica, suap di luar Israel tidak dikutuk.
Menyogok penguasa, pejabat, dan hakim non-Yahudi dianggap sah setiap saat. Mengingat bias (prasangka) mereka terhadap orang Yahudi, tidaklah sulit untuk memahami sikap seperti itu. Tidak hanya terbiasa menyuap raja (1 Raja-raja 15:19; 2 Raja-raja 16:8; Ber. 28b, et.al.), melainkan juga biaya yang dimasukkan dalam menyuap hakim dan para sheriff (polisi) sering secara terbuka dimasukkan dalam biaya yang dapat diperoleh kembali dari debitur."
Apakah hal di atas adalah cerminan akurat dari hukum Yahudi yang benar sesungguhnya tidak penting di sini, karena Israel memiliki banyak masalah terkait suap di tengah-tengah mereka sendiri!
Sebelum jatuh ke tangan Asyur, Amos mengecam Israel atas praktek suap mereka.
“Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang” (Amos 5:12).
Beberapa orang berpendapat bahwa orang Yahudi tidak memiliki hukuman formal karena menerima suap. Kalangan berwenang Yahudi modern menegaskan bahwa praktik-praktik semacam itu ”merupakan perbuatan sebatas tidak etis saja dan bukan pelanggaran pidana”.
Ada dugaan bahwa penerima suap dapat dicambuk, tetapi kemungkinan besar putusan hakim yang disuap akan menjadikannya tidak sah; mungkin dia hanya akan dimintai beberapa kewajiban.
Namun, Yosefus menyatakan: “Jika ada hakim yang menerima suap, hukumannya adalah maut” (Against Apion 2:28).
Hukum Taurat dengan jelas mengumumkan kutuk atas siapa pun yang menerima suap untuk membunuh orang yang tidak bersalah (Ulangan 27:25).
Meskipun suap tidak secara khusus disebutkan dalam Perjanjian Baru, hal itu tentu saja dikutuk baik secara prinsip maupun secara implikasi.
Beberapa kasus suap akan menggambarkan hal ini.
Yudas, si Pengkhianat
Mungkin kasus suap yang paling menonjol adalah kasus Yudas, yang dengan harga murah sebesar tiga puluh keping perak dia "dibeli" [disuap] untuk menjadi "pemimpin orang-orang yang menangkap Yesus itu " (Kisah Para Rasul 1:16).
Dan dengan "upah" kejahatannya (Kisah Para Rasul 1:18), dia telah membeli sebidang tanah untuk mayatnya sendiri.
Penilaiannya tentang Yesus yang terbentuk selama rentang tiga tahun benar-benar diselewengkan oleh keserakahannya (lih. Yoh 12:6).
Saksi yang Tidur
Contoh lain terkait hal itu adalah suap yang diterima para prajurit Romawi yang berjaga di makam Yesus.
Pada hari Sabat setelah penyaliban Kristus, mayatnya masih berada di dalam kubur. Sekelompok orang Farisi mendatangi Pilatus untuk memperingatkan dia bahwa si penyesat, Yesus, telah berjanji akan bangkit dari kematian setelah tiga hari.
Mereka meminta agar makam itu “dijaga ketat” supaya murid-murid-Nya tidak mencuri mayat-Nya dan mengarang cerita tentang kebangkitan-Nya.
Wali negeri menugaskan para penjaga dengan mendesak mereka untuk “memastikan penjagaan seketat mungkin.”
Setelah Tuhan bangkit, beberapa penjaga atau serdadu Romawi pergi ke Yerusalem dan melaporkan peristiwa menggemparkan itu kepada para pemimpin Yahudi.
Pertemuan darurat Sanhedrin diadakan yang menghasilkan suap besar yang dibayarkan kepada para serdadu dengan tuntutan: "Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur." (lih., Mat 27 :62-66; 28:11-15).
Berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk membuat seseorang bertahan dengan cerita yang konyol seperti itu? Idenya—saksi yang tidur!
Fakta bahwa para pejabat menyumpal mulut para prajurit dengan suap adalah bukti bahwa segel Romawi yang ditempelkan telah rusak. Tapi oleh siapa?
Simon, Tukang Sihir
Ketika para rasul, Petrus dan Yohanes, turun ke Samaria untuk memberikan karunia rohani kepada orang-orang yang telah ditobatkan Filipus, kita diberitahu bahwa:
“Ketika Simon melihat, bahwa pemberian Roh Kudus terjadi oleh karena rasul-rasul itu menumpangkan tangannya, ia menawarkan uang kepada mereka, serta berkata: "Berikanlah juga kepadaku kuasa itu” (Kisah Para Rasul 8:18, 19).
Petrus segera menjawab, “Binasalah kiranya uangmu itu bersama dengan engkau, karena engkau menyangka, bahwa engkau dapat membeli karunia Allah dengan uang” (Kisah Para Rasul 8:20).
Dari kejadian ini, muncullah istilah "Simony." Ini menggambarkan praktik yang muncul dalam sejarah gereja di kemudian hari terkait praktek suap yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan jabatan agama. Lihat kata "Simony" yang dibahas dalam berbagai buku tentang sejarah gereja dan ensiklopedia.
Prinsip Spiritual Mengutuk Suap
Perjanjian Baru mengutuk praktek suap baik dari sudut pandang positif maupun negatif.
Suap sebenarnya adalah keturunan ketamakan atau keserakahan.
Oleh karena itu, setiap ayat Alkitab yang berhubungan dengan ketamakan juga merupakan kutuk terhadap suap.
Larangan terhadap ketamakan (Roma 13:9) dan hukuman yang mengikutinya (1 Kor. 6:10; Ef. 5:5) adalah peringatan serius bagi mereka yang mau menerima suap atau meremehkan ketidak-berdayaan orang lain.
Selain itu, Yahweh mewajibkan kita agar “memikirkan yang baik [terhormat], bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia” (2 Kor. 8:21).
Kata "baik [terhormat]" dalam ayat ini adalah halos dalam bahasa Yunani, yang dikatakan W. E. Vine: "baik, terpuji, juga memiliki arti etis tentang apa yang adil, benar, terhormat, dari perilaku yang pantas dipuji."
Suap melanggar setiap prinsip kejujuran dan integritas yang ditetapkan dalam Firman Allah.
Suap Pemimpin Agama
Kecenderungan manusia untuk memberi suap dan menerima suap telah menjadi ciri khas semua bidang kehidupan. Bahkan agama pun tidak luput dari penyakit spiritual ini.
Di era Perjanjian Lama, Bileam, yang hidup pada masa pengembaraan Israel di padang belantara dan yang disebut "nabi" oleh kitab yang diilhami (2 Pet. 2:16), yang dibujuk dengan suap, berupaya untuk mengucapkan kutuk atas umat Yahweh (Bil. 22-24).
Meskipun seorang manusia itu religius, namun kecintaannya pada upah perbuatan yang salah menjadi kehancurannya!
Rupanya suap adalah praktek yang sudah lumrah di antara para pemimpin agama di zaman Hakim-Hakim Israel. Samuel, menjelang akhir hidupnya, menantang:
”Di sini aku berdiri. Berikanlah kesaksian menentang aku di hadapan TUHAN dan di hadapan orang yang diurapi-Nya: Lembu siapakah yang telah kuambil? Keledai siapakah yang telah kuambil? Siapakah yang telah kuperas? Siapakah yang telah kuperlakukan dengan kekerasan? Dari tangan siapakah telah kuterima sogok sehingga aku harus tutup mata? Aku akan mengembalikannya kepadamu” (1 Sam. 12:3).
Meskipun nabi besar ini bukanlah orang yang dapat "dibeli" [disuap] (ayat 4), anak-anaknya yang jahat tidak memiliki karakter yang sama karena tulisan suci berkata:
“Tetapi anak-anaknya itu tidak hidup seperti ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan” (1 Sam. 8:3).
Suap tampaknya menjadi hal biasa di antara para nabi dan imam Israel di tahun-tahun mundurnya pemerintahan Yehuda karena Mikha tanpa takut menyerang praktek tersebut:
“Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada TUHAN dengan berkata: "Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita!” (Mikha 3:11).
Sekali lagi, “Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan!” (Mikha 7:3).
Tugas menjadi pemimpin spiritual dan guru memang luar biasa. Pembimbing agama dibebani tanggung jawab besar untuk bersungguh-sungguh mengarahkan orang-orang di jalan kebenaran — tanpa menambah, mengurangi atau merubah.
Panggilan ini menuntut kesatuan tujuan dan dedikasi total karena ada bahaya besar di sepanjang jalan pelayanan.
Selalu ada orang-orang (bahkan dalam agama) yang “membenci yang memberi teguran” dan berbuat “keji kepada yang berkata dengan tulus ikhlas” (Amos 5:10).
“Orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya” (2 Tim. 4:3).
Mereka berkata, “Janganlah lihat [bernubuat] bagi kami hal-hal yang benar, tetapi katakanlah kepada kami hal-hal yang manis, lihatlah [bernubuatlah] bagi kami hal-hal yang semu, menyisihlah dari jalan dan ambillah jalan lain, janganlah susahi kami dengan Yang Mahakudus, Allah Israel.” (Yes. 30:10, 11).
Manusia pada dasarnya religius. Mereka ingin menjadi religius. Mereka membutuhkannya.
Tetapi karena banyak dari mereka tidak ingin menyerah pada kebenaran, maka alternatif mereka adalah mencari pemimpin atau pengkhotbah yang akan memberi tahu mereka apa yang ingin mereka dengar.
Dunia keagamaan dipenuhi oleh para pemeras yang dapat disuap untuk mengajar hampir semua hal di bawah matahari!
Allah tahu siatuasinya akan seperti ini. Itulah sebabnya mengapa ada banyak sekali bahan Alkitab untuk para pemimpin rohani yang berkaitan dengan masalah uang.
Suap Rohani
Di antara kualifikasi yang diberikan Ilahi bagi penilik kawanan domba Allah adalah dia tidak boleh menjadi "hamba uang" (1 Tim. 3:3) atau "serakah akan uang kotor" (Tit. 1:7).
Ungkapan yang sama juga digunakan bagi diaken di dalam 1 Timotius 3:8.
Peringatan ini menyiratkan, antara lain, bahwa mungkin ada godaan untuk terlibat dalam praktek suap.
Mungkin ada orang-orang yang menginginkan pekerjaan dalam kepemimpinan gereja, tetapi karena watak materialistis, akan sangat rentan terhadap orang atau kelompok yang terbiasa "membeli" sesuka hati mereka sendiri dalam segala hal.
Dan jika kita dapat menerima kesaksian sejarah gereja, inilah sesungguhnya yang terjadi di zaman pasca-apostolik.
Konstitusi Apostolik, dokumen-dokumen dari abad keempat Masehi, memperingatkan para penilik yang menerima "pemberian yang memalukan" dan dengan demikian dipengaruhi untuk tidak menerapkan disiplin terhadap orang-orang jahat di dalam gereja (Bk. ii, c. 9).
Bagian lain yang luar biasa terkait dengan "para gembala", karena suap, akan menuduh secara tidak adil orang yang tidak bersalah dan mengeluarkan mereka dari persekutuan Kristen (Bk. ii, c. 42).
Sebenarnya, situasi seperti ini pada prinsipnya terjadi di banyak jemaat saat ini. Pertimbangkan beberapa kasus.
Saya ingat sebuah jemaat di Pantai Barat yang para penatuanya tidak mengizinkan seorang pemberita Injil untuk mengajarkan doktrin Alkitab tentang pernikahan di tengah-tengah mereka.
Mereka mengklaim ada begitu banyak keluarga di jemaat yang terlibat dalam masalah perceraian sehingga jika diajarkan, banyak yang akan pergi dan budget (keuangan) gereja akan hancur! Itu adalah penatua-penatua yang telah disuap oleh para pezinah.
Pernahkah penatua-penatua didekati oleh sebagian anggota gereja lokal yang tidak peduli pada ajaran Alkitab dengan berterus terang?
Juru bicara mereka mungkin berkata, “Saudara-saudara, kami tidak menyukai cara penginjil itu berkhotbah, dan kami telah memutuskan bahwa kami tidak dapat lagi dengan hati nurani yang baik memberikan persembahan kami di sini.”
Dan seringkali para penatua tunduk pada suap semacam itu dan menyarankan kepada penginjil mereka bahwa akan lebih baik jika dia mencari pekerjaan lain. Jika ini bukan bentuk suap, apa dong?
Dan kita mungkin juga menghadapinya. Penginjil tidak luput dari godaan menerima suap baik sekarang ataupun nanti.
Beberapa penginjil menerima suap setiap kali mereka menerima gaji. Jika seorang penginjil menahan diri untuk mengajarkan seluruh kebenaran Tuhan seperti subyek tentang minuman keras, cara berpakaian tidak sopan, pernikahan dan perceraian, disiplin gereja, ketamakan, dan topik kontroversial lainnya karena dia tahu bahwa menangani masalah ini akan mengakibatkan pemecatannya, maka dia sedang disuap seolah-olah seseorang menyelipkan amplop penuh uang di bawah pintu rumahnya!
Mungkin inilah sebabnya Paulus memperingatkan Timotius muda tentang banyaknya pencobaan yang menimpa mereka yang ingin kaya (1 Tim. 6:5-10).
Penginjil adalah manusia. Kami membutuhkan rumah, pakaian, makanan, dan kebutuhan lainnya. Kami bahkan menikmati beberapa kemewahan.
Tetapi marilah kita tidak pernah mengabaikan untuk memberitakan seluruh kebenaran. Kita tidak boleh membiarkan jiwa kita disuap oleh mereka yang sama sekali tidak tertarik untuk pergi ke surga!
Masalah-Masalah Khusus
Saya percaya kata peringatan itu tepat terkait dengan beberapa praktik populer saat ini di beberapa jemaat.
Beberapa orang religius tidak lagi percaya bahwa Kekristenan memiliki manfaat hakiki untuk menarik perhatian orang-orang yang berpikiran serius.
Jadi tipu muslihat dan godaan (dan, ya, bahkan suap) seperti dalam suasana sirkus yang digunakan untuk membujuk banyak orang.
Satu kelompok denominasi memprakarsai praktek pemberian kartu hadiah kepada pengunjung. Yang lain telah memberikan imbalan finansial kepada anggota yang dapat mendatangkan anggota baru paling banyak bagi jemaat.
Namun, tentu saja orang Kristen tidak perlu disuap untuk melaksanakan amanat agung Tuhan kepada orang sesat!
Atau bagaimana dengan membagikan kartu hadiah dan doorprize kepada pengunjung yang datang ke perhimpunan ibadah kita?
Bukankah bentuk-bentuk baru dalam “penginjilan” ini sangat dekat dengan suatu bentuk suap (dan dalam beberapa kasus lebih dari itu)?
Apa yang dikatakan tentang orang Kristen ketika mereka harus menggunakan penipuan dan suap untuk membawa orang?
Bukankah lebih baik memotivasi orang dengan menyatakan kasih karunia Tuhan daripada menggunakan hadiah rayuan dan teologi lolipop?
Kesimpulan
Sekali lagi, biarlah ditekankan. Etika alkitabiah tidak akan pernah mengizinkan orang Kristen yang setia untuk terlibat dalam praktek yang umumnya dikenal sebagai suap (yaitu, semua upaya untuk memutarbalikkan keadilan atau mewujudkan apa yang tidak bermoral).
Di daerah-daerah tenang yang mungkin kadang-kadang dihadapi, anak Allah akan menggunakan penilaiannya sesuai dengan Kitab Suci dan berusaha untuk mempraktekkan hukum emas dan memelihara hal-hal yang terhormat di mata semua orang.
Karya Kutipan
Board, Stephen. “Influence For Sale,” Eternity. September 1976.
C. H. H. “Bribery,” Encyclopedia Judaica. New York: -Macmillian Co., 1971.
Hanke, H. W. “Bribery,” The New Zondervan Pictorial Bible Encyclopedia. Grand Rapids: Zondervan Publishing Co., 1975.
McClintock, John and Strong, James. Article “Gift,” Cyclopaedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature. Grand Rapids: Baker Book House, 1968.
Murray, R. H. “Corruption and Bribery,” Hastings Encyclopedia of Religion and Ethics. New York: Charles Scribner’s Sons, 1914.
Ross, Irwin. “Bribery Is Bad Business,” Reader’s Digest. September, 1976.
Smith, William and Cheetham, Samuel. “Bribery,” A Dictionary of Christian Antiquities. London: John Murray, 1875.