Haruskah seorang perempuan berdiam diri di dalam jemaat? Istilah “berdiam diri” di dalam 1 Korintus 14:34 sering disalahpahami dan disalahgunakan.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah golongan muncul di dalam gereja yang berpendapat bahwa adalah dosa bagi perempuan untuk mengajarkan Alkitab kepada anak-anak dalam kelas sekolah Minggu ketika jemaat datang berkumpul. Mereka menuduh bahwa praktik ini melanggar instruksi Paulus bagi perempuan untuk “berdiam diri” di dalam jemaat (1 Kor. 14:34).
Beberapa pendebat senior menanggapi argumen ini dengan cara ini. Mereka berpendapat bahwa kata Yunani sigao ("berdiam diri") menuntut keheningan mutlak - bukan suara.
Karena larangan seperti itu akan bertentangan dengan perintah mengenai pertemuan rutin jemaat (misalnya menyanyi), mereka beralasan bahwa 1 Korintus 14:34 tidak berhubungan dengan pertemuan jemaat biasa. Jadi, mereka beralasan bahwa konteks ini tidak boleh diterapkan di zaman kita. Dengan argumen ini, mereka merasa menghindari konflik antara perempuan yang mengajar kelas Alkitab anak-anak dan 1 Korintus 14:34.
Orang lain hari ini membuat argumen yang sama - tetapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka menginginkan peran perempuan diperluas dalam perhimpunan umum jemaat. Mereka juga melihat 1 Korintus 14:34 sebagai penghalang bagi praktik pelayanan perempuan dalam ibadah umum yang mereka inginkan. Jadi, sekali lagi, konteksnya dianggap tidak relevan lagi hari ini.
Argumen itu tidak masuk akal di masa lampau, dan sama salahnya hari ini.
Berdiam Diri Seperti Apa yang Dituntut 1 Korintus 14:34?
Seluruh pertanyaan bergantung pada arti kata kerja Yunani sigao. Kata ini tidak pernah menuntut keheningan yang mutlak dan tanpa syarat. Sebaliknya, sifat keheningan ditentukan oleh konteksnya.
Kata kerja sigao tidak terlalu sering ditemukan di dalam Alkitab — hanya sembilan belas kali dalam Perjanjian Lama dan kurang dari selusin kali dalam Perjanjian Baru Yunani. Tetapi pemeriksaan yang cermat terhadap kata tersebut mengungkapkan bahwa konteksnya mengidentifikasi sifat keheningan.
Misalnya, ketika orang Israel dikejar oleh orang Mesir dan tiba di Laut Merah, mereka ketakutan. Mereka mengadukan keadaan mereka kepada Musa. Dia memberi tahu mereka bahwa Yahweh akan berperang untuk mereka, dan karena itu mereka harus “diam saja” (Kel. 14:14).
Jelas, itu tidak berarti bahwa mereka dilarang berbicara sama sekali. Sebaliknya, jenis diam yang diperintahkan adalah agar mereka menghentikan rengekan tanpa iman mereka.
Ketika Daud menggambarkan kesukaran tertentu yang terkait dengan pelanggarannya, dia "berdiam diri, tulang-tulangnya menjadi lesu (Mazmur 32:3). Tapi dia tidak berbicara tentang diam secara umum tetapi diam mengenai dosanya.
Setelah para murid menyaksikan adegan transfigurasi, mereka "menahan diri" (yaitu, diam; Luk. 9:36). Itu tidak berarti mereka tidak berbicara sama sekali. Sebaliknya, mereka tidak membicarakan dengan orang lain apa yang telah mereka lihat di gunung.
Konteks 1 Korintus 14
Sekarang ke 1 Korintus 14. Kata kerja sigao digunakan tiga kali dalam pasal ini.
Orang yang memiliki karunia berbahasa lidah harus berdiam diri jika dia tidak memiliki penerjemah untuk digunakan bagi pendengarnya yang asing (1 Kor. 14:28).
Jika seorang saudara berbicara dan yang lain menerima wahyu langsung, yang pertama harus tetap diam (1 Kor. 14:30).
Akhirnya, perempuan harus berdiam diri (1 Kor. 14:34).
Dua larangan pertama menuntut diam hanya pada hal-hal yang dibicarakan. Keduanya tidak melarang orang-orang ini untuk berbicara sesuai dengan kewajiban ilahi mereka.
Demikian pula, arahan Paulus kepada perempuan tidak menuntut agar dia benar- benar diam di dalam gereja. Sebaliknya, selaras dengan apa yang diajarkan rasul di bagian lain (1 Tim. 2:12), perempuan tidak boleh berbicara atau mengajar dengan cara apa pun yang melanggar peran gendernya.
Dia tidak boleh menduduki posisi guru umum dalam kapasitas sedemikian rupa untuk berdiri di hadapan gereja dan berfungsi sebagai guru (atau rekan guru) dari kelompok yang terdiri dari pria dewasa. Dengan menjalankan kapasitas resmi ini, dia telah melangkah melampaui lingkup otoritasnya dan dia melanggar Kitab Suci.
Jadi, tandai “berdiam diri” di ayat 34. Tarik panah kembali ke ayat 28, 30, dan perhatikan: Keheningan tidak mutlak, tetapi dikualifikasikan berdasarkan konteks.
Sumber: https://christiancourier.com/articles/do-women-have-to-keep-silent-in-the-church (Penulis: Wayne Jackson, Alih bahasa: Harun Tamale)